Lei Jun lahir tahun 1969 di Xiantao, sebuah kota kecil di provinsi Hubei, Tiongkok tengah. Sebelum Lei terkenal, Xiantao lebih dikenal sebagai “kota pesenam”, karena banyak juara senam seperti Li Xiaoshuang, Yang Wei, dan Li Dashuang berasal dari sana. Namun, Lei kemudian membuat Xiantao terkenal, bukan sebagai pesenam, tapi sebagai salah satu pengusaha paling sukses di Tiongkok.
Sejak kecil, Lei suka puisi dan sering bermain Go. Setelah lulus dari Mianyang Middle School tahun 1987, Lei pindah ke Wuhan—kota yang sering disebut sebagai “Chicago-nya Tiongkok”, pusat industri yang ramai dan ibu kota Hubei—untuk kuliah. Ayahnya seorang guru yang hanya menghasilkan sekitar $7 per bulan. Seperti banyak orang di pedesaan Tiongkok pada tahun 80-an, belajar dengan baik adalah tiket Lei untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Jadi dia belajar keras dan menjadi siswa yang patuh. Hanya dalam waktu dua tahun, Lei lulus dari Universitas Wuhan, salah satu universitas top di Tiongkok, dengan gelar sarjana ilmu komputer yang seharusnya memakan waktu empat tahun untuk diselesaikan.
Sama seperti bagaimana akses awal ke komputer mengubah hidup para idolanya seperti Bill Gates dan Steve Jobs, komputer juga mengubah hidup Lei. Mengenang masa-masa penuh kegembiraan saat ia perlahan mulai menemukan keajaiban teknologi komputer, Lei kemudian menulis di blognya, “Aku menemukan bahwa dunia komputer begitu indah sehingga aku benar-benar tenggelam di dalamnya.”
Bayangkan seorang remaja geek berusia 18 tahun yang terobsesi dengan komputer—itulah Lei. Ia bersepeda dengan sepeda rusak, membawa tas besar penuh dengan disk dan buku referensi, sambil berkeliling di Wuhan Electric Street. Pemrograman komputer memberinya pelarian dari kenyataan luar yang suram. Suatu hari, dia meminjam buku dari perpustakaan Universitas Wuhan yang mengubah pandangannya sepenuhnya. Buku itu berjudul Fire in the Valley: The Making of the Personal Computer, yang menceritakan kisah Steve Jobs dan Steve Wozniak dari Apple, serta Bill Gates dari Microsoft, dan bagaimana mereka memulai revolusi teknologi.
Pada hari itu, Lei yang masih berusia 18 tahun memutuskan bahwa suatu hari nanti dia juga akan menjalankan perusahaan kelas dunia seperti para idolanya di Silicon Valley. Meskipun butuh bertahun-tahun dan serangkaian peristiwa keberuntungan untuk mewujudkan itu, benih kewirausahaan telah ditanam dalam pikirannya. Bertahun-tahun kemudian, Lei menulis di blognya: “Kisah para pahlawan Silicon Valley selalu membakar dadaku. Aku sering bermimpi bahwa suatu hari aku akan menciptakan perusahaan perangkat lunak kelas dunia. Seluruh dunia akan menggunakan perangkat lunak kami.”
Masa remaja Lei di akhir tahun 80-an bertepatan dengan masa sulit dalam sejarah Tiongkok. Saat itu, Partai Komunis Tiongkok yang dipimpin oleh Deng Xiaoping mulai membuka pasar Tiongkok dengan tujuan menciptakan “masyarakat sosialis dengan karakteristik Tiongkok”. Keputusan pemerintah tahun 1978 untuk memperkenalkan reformasi ekonomi setelah kematian Mao Zedong bertujuan untuk mengangkat Tiongkok dari kemiskinan, dan ini menimbulkan antusiasme serta harapan besar di hati masyarakat Tiongkok. Kewirausahaan tidak lagi dipandang rendah, malah didorong oleh pemerintah.
“Tahun itu, kegiatan ekonomi sudah hampir berhenti selama beberapa dekade, dan sistem sosial hampir mati. Seruan keras Deng Xiaoping untuk reformasi dan keterbukaan membangunkan seluruh negeri, melepaskan kekuatan produktif dan membebaskan orang dari kendali yang kaku. Tidak lama setelah program reformasi dimulai, negara sudah tampak berbeda sama sekali. Perkembangan ekonomi menjadi tren besar, dan kecepatan serta efisiensi mendefinisikan kehidupan sehari-hari bagi satu miliar orang.”
Namun, seiring dengan dibukanya pasar Tiongkok melalui privatisasi besar-besaran Badan Usaha Milik Negara (BUMN), korupsi dan nepotisme merajalela. Orang-orang mulai menyadari bahwa reformasi ini hanya menguntungkan segelintir orang sementara memperburuk keadaan bagi mayoritas penduduk Tiongkok. Ketika kritik terhadap kebijakan pemerintah tidak membuahkan hasil, masyarakat Tiongkok mulai melakukan demonstrasi besar-besaran. Yang paling terkenal adalah demonstrasi di Lapangan Tiananmen pada April 1989 di Beijing, yang menjadi sangat besar sehingga pemerintah harus memberlakukan darurat militer untuk menghentikannya. Ratusan pengunjuk rasa terluka dan banyak lainnya tewas saat pemerintah melakukan tindakan keras. Pada saat itu, gerakan protes telah menyebar ke 400 kota di seluruh negeri.
Kota asal Lei juga ikut serta dalam protes tahun 1989. Pada bulan April, ribuan mahasiswa turun ke jalan di Wuhan menuntut pengendalian inflasi dan mengakhiri korupsi birokrasi. Setelah tindakan keras polisi di Lapangan Tiananmen pada Juni 1989, mahasiswa Universitas Wuhan memblokir jalur kereta api di jalur Beijing-Guangzhou untuk mengecam kebrutalan polisi. Tampaknya Lei menemukan pelipur lara di dunia komputer. “Komputer jauh lebih sederhana daripada siapa pun… Setiap kali kamu duduk di depan komputer, kamu seperti sedang berpatroli di kerajaanmu. Hari seperti itu adalah hari yang sempurna,” tulisnya kemudian di blognya, yang tidak terkait dengan protes. Sebagai hobi, Lei juga mengejar filateli (mengumpulkan perangko) dan bermain Go. Tapi komputer lebih dari sekadar hobi baginya. Segera, kecintaannya pada pemrograman menjadi kesibukan yang serius.
Pada liburan musim panas tahun keduanya pada Agustus 1989, Lei menulis perangkat lunak komersial pertamanya, BITLOK, bersama Wang Guoquan. Wang dan Lei bertemu beberapa bulan sebelumnya di Electric Street dan segera menjadi sahabat. Mereka membentuk Yellow Rose Group. Keduanya bekerja siang dan malam dan menulis versi asli BITLOK dalam dua minggu. Ini adalah perangkat lunak enkripsi untuk membantu mencegah pembajakan. Lei dan Wang mengembangkan perangkat lunak ini selama tujuh tahun hingga tahun 1996 dan menjualnya ke beberapa perusahaan, termasuk Yonyou dan Kingsoft, menghasilkan 1 juta yuan ($152.000). Lei kemudian menyebutnya sebagai “ember emas pertama”-nya.
Program komersial kedua yang Lei Jun kembangkan adalah software antivirus bernama Immunity 90 . Lei mengerjakannya bersama teman sekelasnya, Feng Zhihong, saat liburan musim dingin tahun itu, dan mereka menulis program ini menggunakan Pascal , salah satu bahasa pemrograman yang populer di tahun 70-an dan 80-an. Selain membuat software, Lei juga sering menulis artikel dan memberikan kuliah tentang virus komputer, meskipun akhirnya tidak melanjutkan karier di bidang itu. Selain antivirus, mereka juga membuat RAMinit , alat yang membersihkan memori untuk meningkatkan performa komputer, yang pada masa itu sering kali kekurangan kapasitas memori.
Pada tahun 1990, Lei bersama Wang Guoquan dan beberapa teman lainnya memulai perusahaan bernama Sān Sè (Three Colours) di sebuah kamar hotel yang disewa. Awalnya, mereka berencana mengembangkan software penerjemah bahasa Cina ke Inggris, tetapi untuk bertahan hidup, mereka juga melakukan pekerjaan lain seperti menjual komputer, mengetik, dan mencetak. Perusahaan ini masih bootstrap—berjalan dengan modal yang sangat minim—dan mereka sering harus memutar otak untuk mencari cara bertahan. Lei bercerita di blognya bahwa mereka bahkan mengirim salah satu kolega yang jago bermain Mahjong untuk mengalahkan kepala kantin dan memenangkan tiket makan. “Begitulah cara kami hidup,” tulis Lei. Mahjong adalah permainan asal Tiongkok yang melibatkan keterampilan, strategi, dan sedikit keberuntungan, dan biasanya dimainkan oleh empat orang. Meskipun usaha ini gagal, ketangguhan dan kreativitas ini akan sangat membantu Lei di masa-masa awal Xiaomi.
Akhirnya, Three Colours tidak bertahan lama karena munculnya perbedaan di antara para pendiri. Lei dan Wang memutuskan untuk keluar, membawa sebuah PC 286 dan beberapa barang kecil milik perusahaan. “Saya pikir orang tumbuh melalui kegagalan dan rintangan. Karena kegagalan ini, saya lebih memahami kemampuan saya dan lebih siap secara mental untuk perkembangan masa depan,” tulis Lei pada tahun 2008. Pengalaman ini menjadi bagian dari pelatihan yang membuat Lei menjadi pengusaha kelas dunia seperti sekarang.
Lei juga memiliki sifat kompetitif. Salah satu momen dari masa kuliahnya memperlihatkan hal ini dengan jelas. Dalam biografinya, penulis Chen Run menulis bahwa Lei bahkan berhenti tidur siang karena takut ketinggalan dari teman-temannya. “Saya sangat takut tertinggal. Sekali tertinggal, saya tidak akan bisa mengejar,” kata Lei dalam biografi tersebut.
Kecintaan Lei pada pemrograman semakin besar, dan ia yakin bahwa ini adalah satu-satunya hal yang ingin ia lakukan seumur hidupnya. Setelah lulus, Lei bersikeras pindah ke Beijing sementara sebagian besar teman sekelasnya pindah ke Shenzhen, Guangzhou, atau ke luar negeri. Tragedi Tiananmen pada 1989 dan penindasan yang menyusul membuat banyak orang mempertimbangkan kembali masa depan mereka di Tiongkok, sehingga banyak anak muda Tiongkok yang pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan, terutama ke Amerika Serikat. Dari tahun 1989 hingga 1994, persentase pelajar internasional terbesar di AS berasal dari Tiongkok. Lin Bin , co-founder dan presiden Xiaomi saat ini, misalnya, pergi ke AS untuk mengambil gelar master dalam ilmu komputer di Drexel University. Begitu pula dengan Liu De , wakil presiden senior Xiaomi, yang pergi ke Art Center College of Design di California untuk belajar desain industri. Namun, berbeda dengan teman-temannya, Lei tidak tertarik pada bentuk pembelajaran yang terstruktur dan formal.
Meskipun kecintaannya pada pemrograman begitu besar, Lei tahu bahwa Tiongkok masih membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk bisa dianggap serius dalam dunia teknologi. Dalam blognya, Lei menyesalkan, “Awalnya, kami merasa tidak punya apa-apa untuk dilakukan, dan yang lebih buruk lagi adalah bahwa kami sangat pintar, sangat cocok untuk mengembangkan perangkat lunak, jauh lebih baik daripada orang asing…” Meskipun saat itu kondisi Tiongkok tampak suram, baik dalam hal iklim sosial-politik maupun masa depan teknologinya, optimisme Lei tetap bertahan. Dia yakin bahwa perubahan pasti akan datang, dan dia, Lei Jun, yang saat itu masih seorang programmer muda dan pendiri Tim Perangkat Lunak Yellow Rose , pasti akan berada di garis depan transformasi besar itu. “Bukan hanya Lei Jun yang mencintai pemrograman, tetapi dia juga seorang perfeksionis. Dia menulis kode seperti menulis puisi, seperti awan yang mengalir dan air yang mengalir,” tulis biografer Lei.
Awal Perjalanan yang Penuh Lika-Liku
Setelah pertemuan tak terduga dengan Qiu Bojun , pendiri Kingsoft , di sebuah pameran komputer di Beijing, Lei ditawari pekerjaan di Kingsoft. Lei, yang sudah dikenal karena keahliannya dalam pemrograman, bergabung dengan perusahaan itu pada tahun 1992, langsung setelah lulus, dan menjadi kepala departemen penelitian dan pengembangan. Qiu Bojun, yang juga dikenal dengan nama Kau Pak Kwan , memiliki ambisi besar untuk menjadikan perusahaannya yang terbaik di industri perangkat lunak. Qiu sendiri adalah legenda di industri perangkat lunak Tiongkok. Kisah asalnya adalah bahwa pada tahun 1988, ketika berusia 24 tahun, Qiu bekerja tanpa henti selama 17 bulan di komputer 386 dan menulis 122.000 baris kode dalam bahasa assembly , yang kemudian menjadi pengolah kata berbahasa Cina pertama. Produk ini langsung menjadi bestseller dan meletakkan dasar bagi Kingsoft untuk menjadi perusahaan teknologi terkemuka di Tiongkok.
Lei, yang saat itu baru berusia 23 tahun, langsung terpesona oleh ambisi Qiu dan kepiawaian pemrogramannya. Dari sinilah dimulai perjalanan kompleks Lei di Kingsoft, yang pada akhirnya sangat berperan dalam membentuk dirinya seperti sekarang. Namun, Lei juga mengalami kegagalan besar di Kingsoft. Salah satunya adalah produk gagal yang disebut Pangu Office , sebuah produk manajemen perkantoran yang dikerjakan oleh Lei dan timnya selama hampir tiga tahun. Sayangnya, Pangu gagal total, merugi, dan hampir membuat Kingsoft bangkrut.
Terpuruk, Bangkit, dan Menuju Puncak
Pada April 1996, Lei Jun merasa kalah dan mengajukan pengunduran dirinya dari Kingsoft. Namun, Qiu Bojun, sang pendiri, tidak ingin kehilangan talenta muda berbakat ini. Alih-alih menerima pengunduran dirinya, Qiu memberikan Lei cuti selama enam bulan untuk pulih dari kelelahan. Pada usia 27 tahun, Lei pun menggunakan waktu tersebut untuk memulihkan diri, dan pada November tahun itu, ia kembali bekerja di Kingsoft dengan semangat baru.
Pada tahun 1998, Kingsoft menerima investasi sebesar $4,5 juta dari Lenovo untuk menghadapi gempuran Microsoft. Pada usia yang sangat muda, 29 tahun, Lei diangkat menjadi CEO Kingsoft. Saat itu, Kingsoft dijuluki sebagai “Microsoft-nya Tiongkok”, karena produk-produknya sangat mirip dengan Microsoft Office , termasuk pengolah kata, spreadsheet, dan program presentasi—semua dalam bahasa Mandarin. Selain itu, Kingsoft juga mengembangkan perangkat lunak antivirus dan penyimpanan cloud.
Namun, ketika Lei mengambil alih sebagai CEO, Kingsoft menghadapi tantangan besar, baik dari kompetisi asing maupun masalah di dalam negeri. Meskipun Kingsoft berusaha keras menyaingi Microsoft, pembajakan perangkat lunak yang merajalela di Tiongkok hampir membuat Kingsoft bangkrut. Masalah ini tidak hanya menghantam Kingsoft, tapi juga melumpuhkan seluruh industri teknologi di Tiongkok. Majalah Wired menulis pada tahun 2006, “Kerugian akibat pembajakan sangat merugikan, terutama di saat pemimpin komunis ingin Tiongkok bertransformasi dari pabrik berbiaya rendah dunia menjadi ‘masyarakat inovasi’ yang menghasilkan teknologi dan merek yang menguntungkan.” Meskipun perangkat lunak Kingsoft terpasang di sebagian besar komputer, perusahaan tidak mendapatkan untung karena hampir 90% instalasinya adalah salinan bajakan.
Di masa-masa kelam ini, sebagai pemimpin perusahaan, Lei memutuskan untuk mengadakan lokakarya untuk memotivasi para karyawannya. Ia membagikan beberapa wawasan yang ia kumpulkan selama bertahun-tahun, hasil pengamatannya terhadap perusahaan sukses seperti Google , Apple , dan Microsoft . Lei menciptakan momen seperti di sekolah menengah ketika ia meminta rekan kerjanya untuk mengucapkan dua kata ajaib setelahnya: “fokus” dan “ekstrem” . Lei kemudian menulis di blognya, “Google dan Apple hebat karena mereka memiliki fokus dan gen utama. Sejak awal wirausaha, pengusaha memiliki kesempatan untuk membuat perusahaan sebesar Google dan Apple jika mereka bertahan dengan ‘fokus’ dan ‘ekstrem’!”
Dalam upayanya memperbaiki Kingsoft, Lei juga mencoba mengadopsi kebijakan Microsoft yang berfokus pada pengalaman pengguna terbaik . “Rahasia kesuksesan Microsoft terletak pada pengalaman pengguna, tidak hanya memenuhi kebutuhan pengguna tetapi juga membuat pengguna merasa mudah digunakan… Faktor kunci keberhasilan produk internet adalah kata-kata dari pengguna.” Sayangnya, meskipun Lei telah berusaha sebaik mungkin, Kingsoft tetap tidak mampu mewujudkan impian pendirinya, Qiu Bojun, untuk menjadi yang terbaik di industri perangkat lunak.
Namun, ide dan wawasan yang dikumpulkan Lei tidak sia-sia. Beberapa tahun kemudian, Lei kembali menerapkan ide-ide ini saat ia bersiap meluncurkan Xiaomi , dan kali ini, rencana itu berjalan mulus.
Di bawah kepemimpinannya, Xiaomi berusaha keras untuk menawarkan pengalaman pengguna terbaik di pasar. Pembaruan fitur secara berkala dari Xiaomi menunjukkan betapa pentingnya masukan pengguna, dan untuk alasan ini saja, Xiaomi terus mendapatkan pujian dari pengguna dan para pakar industri. Namun, sebelum kita terlalu jauh, mari kembali ke awal tahun 2000-an, ketika Lei masih menjabat sebagai CEO Kingsoft dan ide tentang Xiaomi bahkan belum terlintas di pikirannya.
Kala itu, Lei sering merasa terjebak di jalan buntu. Di tengah pembajakan produk-produk Kingsoft di dalam negeri dan persaingan ketat dari luar negeri, Lei memutuskan untuk mendiversifikasi produknya dengan meluncurkan perangkat lunak antivirus, game, dan penerjemah. Sekali lagi, upaya ini tidak membuahkan hasil, dan Kingsoft terus berjuang. Pada tahun 2012, setelah kesuksesan besar Lei dengan perusahaan barunya, Xiaomi, Forbes menerbitkan fitur retrospektif tentang perjalanan panjang Lei di Kingsoft. Mereka menggambarkan Lei sebagai sosok yang sering “kelelahan dan tersesat” meskipun menghadapi tekanan kerja yang sangat besar di Kingsoft. “Hasilnya tidak memuaskan.” Seperti banyak hal lainnya, pencatatan saham IPO Kingsoft juga terbukti menjadi tantangan besar. Ketika akhirnya berhasil terdaftar di tahun 2007 setelah beberapa upaya yang gagal, Lei yang sudah sangat lelah memutuskan untuk mundur sebagai CEO dan mengalihkan energinya ke tempat lain.
Setelah enam belas tahun dan banyak pertarungan yang melelahkan, Lei merasa kelelahan. Namun, tak lama kemudian, ia akan memulai perjalanan baru sebagai angel investor dan meraih kesuksesan besar.
Melangkah ke Masa Depan dan Menjadi Angel Investor
Perjalanan Lei di Kingsoft mungkin panjang dan berliku, tetapi selama waktunya di sana, ia juga terlibat dalam berbagai usaha lainnya. Pengalaman pertamanya dengan internet terjadi pada tahun 1993, di Institut Fisika Energi Tinggi di Tiongkok. Itu adalah jaringan internet pertama di Tiongkok. Namun, baru di akhir tahun 90-an, ia mulai melihat potensi internet. Pada tahun 1999, dengan dukungan dari Kingsoft, Lei meluncurkan Joyo , sebuah situs web yang memungkinkan orang mengunduh perangkat lunak dan mencoba menghasilkan uang dari iklan. Namun, rencana itu tidak berjalan, dan pada tahun 2000, Joyo beralih menjadi situs e-commerce yang menjual buku, perangkat lunak, dan musik. Dengan Joyo, Lei mendapatkan pengalaman langsung dalam e-commerce, secara perlahan mempelajari seluk beluk menangani permintaan online yang besar. Apakah Lei saat itu sedang mempersiapkan dirinya untuk penjualan kilat di masa depan, di mana ribuan ponsel Xiaomi terjual habis hanya dalam hitungan detik? Kemungkinan besar begitu.
Kesuksesan Joyo segera menarik perhatian raksasa e-commerce Amerika, Amazon. Bagi Jeff Bezos , pendiri dan CEO Amazon, Joyo bukan hanya platform ritel online yang besar, tetapi juga kunci untuk membuka pasar Tiongkok. Pada tahun 2004, Amazon mengakuisisi Joyo seharga $75 juta, dan pemegang saham besar seperti Kingsoft, Lenovo, dan Tiger Management mencairkan investasi mereka. Akuisisi ini membantu Amazon mendapatkan pijakan di Tiongkok dan menawarkan layanan kepada lebih dari 80 juta konsumen Tiongkok yang sudah online dan sangat menginginkan barang-barang impor. Setelah akuisisi, Joyo berganti nama menjadi Amazon.cn dan kemudian berubah lagi menjadi Joyo Amazon dan akhirnya Amazon China .
Meskipun akuisisi ini tidak berakhir manis bagi Amazon di Tiongkok karena kalah bersaing dengan raksasa lokal seperti Alibaba dan JD.com , tetapi kesepakatan senilai $75 juta itu mendorong Lei Jun ke pertarungan yang lebih besar.
Joyo: Titik Awal Keberhasilan Lei Jun
Joyo adalah salah satu dari deretan usaha sukses pertama yang dijalankan oleh Lei Jun. Namun, penting untuk diingat bahwa ambisi Lei tidak pernah terbatas hanya pada perusahaan-perusahaan yang ia dirikan atau investasikan. Sejak usia muda, Lei sudah berfokus pada tujuan yang lebih besar, dan setiap langkah yang ia ambil selalu mendekatkannya pada impian itu.
Bersama dengan Jack Ma dari Alibaba dan Pony Ma dari Tencent, Lei sering dijuluki sebagai “China’s Disruptor” karena peran besar mereka dalam mengubah cara dunia memandang Tiongkok saat ini. Ketiga pengusaha ini membantu negara tersebut melepaskan citranya sebagai tempat pabrik-pabrik kumuh dan barang-barang tiruan murah, dan menggantikannya dengan reputasi sebagai ekonomi yang tumbuh paling cepat di dunia sejak reformasi ekonomi pada tahun 1978. Transformasi Tiongkok dari “Tiongkok yang murah” menjadi “Tiongkok yang superpower” tidak terjadi secara kebetulan, melainkan hasil dari bertahun-tahun pemikiran cermat dan perencanaan ambisius oleh tokoh-tokoh besar, termasuk Lei Jun.
Pada tahun 2001, setelah gelembung dot-com meletus, pemerintah Tiongkok mengirim eksekutif dari beberapa perusahaan perangkat lunak dalam misi ke India untuk mempelajari bagaimana tetangga mereka tersebut mengelola industri informasi. Ini adalah kunjungan pertama Lei ke India sebagai perwakilan dari Jinshan (nama Tiongkok dari Kingsoft, yang secara harfiah berarti Gold Mountain Software). Ketika ekonomi negara-negara dunia pertama menderita akibat jatuhnya NASDAQ setelah gelembung dot-com, India justru berhasil bertahan. Ada beberapa alasan untuk ini: India telah berkembang menjadi semacam “digital Eden” dengan sekolah pelatihan komputer, investasi asing yang besar, dan programmer yang cukup mahir berbahasa Inggris. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan lokal Tiongkok kecil dan tertekan oleh masalah pembajakan domestik. Perwakilan Tiongkok seperti Lei berharap bahwa misi mereka ke India akan membantu mereka mengatasi krisis tersebut.
Tidak lama setelah itu, Tiongkok mulai bangkit ketika warung internet (warnet) menjamur, menawarkan akses internet murah bagi masyarakat kelas bawah. Sampai saat itu, hanya keluarga kaya yang mampu membeli komputer, sementara sebagian besar negara tidak mengenal keajaiban teknologi informasi. Berkat perkembangan warnet dan industri pembajakan yang terus tumbuh, generasi muda Tiongkok dengan cepat kecanduan game online. Para orang tua di seluruh negeri mengeluh tentang obsesi anak-anak mereka terhadap game, tetapi tidak ada yang menyadari bahwa game ini secara tidak langsung membantu jutaan pemuda Tiongkok mempelajari dasar-dasar penggunaan komputer. Tiongkok mungkin tidak memiliki sekolah profesional seperti India untuk melatih programmer masa depan, tetapi ledakan warnet dan budaya game menciptakan generasi penggemar komputer.
Lei yang terus mengamati perkembangan ini mencatat di blognya bagaimana Tiongkok mencatat peningkatan 22,9 persen dalam jumlah gamer online antara 2007 dan 2008. Pada tahun 2008, ada 49,3 juta pengguna, dan industri game menghasilkan pendapatan sebesar 150 juta yuan ($22,8 juta). Pada saat itu, Kingsoft sendiri memiliki pangsa pasar 2,69 persen di industri game. Pada tahun 2010, Kingsoft berinvestasi di Cheetah Mobile (sebelumnya bernama Kingsoft Network), sebuah perusahaan yang mengembangkan game online populer serta aplikasi hiburan lainnya. Lei, yang menjabat sebagai ketua Cheetah hingga 2018, juga memiliki saham pribadi di perusahaan tersebut.
Setelah Kingsoft melakukan penawaran saham perdana ( IPO ) di HKSE pada tahun 2007, Lei memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai CEO dan mengalihkan seluruh energinya ke investasi angel. Dia telah lama bergelut dengan ide tentang internet, dan pada awal tahun 2000-an, Lei menyadari bahwa masa depan terletak pada internet seluler . Berdasarkan intuisi ini, Lei mulai menginvestasikan uangnya di perusahaan-perusahaan internet. Faktanya, Lei sudah mulai berinvestasi di startup yang menjanjikan bahkan sebelum ia mengundurkan diri sebagai CEO Kingsoft.
Pada bulan November 2006, Lei bertemu dengan temannya Yu Yongfu di sebuah bar untuk minum. Saat itu, Lei masih menjalankan Kingsoft. Yu, yang bekerja di firma investasi, tidak dapat meyakinkan mitra lainnya untuk berinvestasi di startup web seluler bernama UCWeb . Yu dan Lei bukan hanya teman, tetapi mereka juga memiliki pandangan yang sama tentang masa depan teknologi Tiongkok. Seperti Lei, Yu percaya bahwa setelah Jepang, giliran Tiongkok yang akan mengendarai revolusi internet seluler. Yu meyakinkan Lei untuk berinvestasi di UC. Lei setuju dengan syarat bahwa Yu harus menjadi CEO UCWeb. Dalam beberapa bulan, Lei mengumpulkan $10 juta, dan nilai perusahaan meningkat sepuluh kali lipat.
Pada Oktober 2008, Lei menjadi ketua dewan UCWeb. Di bawah kepemimpinannya, perusahaan tumbuh pesat, dan Lei mengatakan bahwa UCWeb memiliki mimpi besar untuk membawa internet ke dalam saku setiap orang di Tiongkok. Pada 2014, Alibaba mengakuisisi UCWeb seharga $4,3 miliar, yang memberikan Lei pengembalian investasi sebesar 1.000 kali lipat. Investasi ini adalah salah satu pencapaian terbesar Lei dalam dunia investasi.
Xiaomi: Puncak Karier Lei Jun
Meski sukses sebagai investor, Lei masih merasa gelisah setelah meninggalkan Kingsoft. Ambisinya masih besar: dia ingin membangun perusahaan yang bisa menandingi raksasa dunia. Pada tahun 2010, Lei mendirikan Xiaomi Corporation , sebuah perusahaan yang menjadi kulminasi dari pengalaman panjang Lei di industri teknologi. Lei sangat percaya bahwa masa depan akan dipengaruhi oleh dua tren besar: ponsel pintar dan internet seluler . Dengan pengalaman lebih dari dua puluh tahun sebagai pengusaha dan investor, Lei menggunakan seluruh pengetahuannya untuk membangun Xiaomi dari nol.
Xiaomi adalah buah dari impian Lei yang telah lama ia pupuk. Dengan tim yang berisi talenta terbaik dari berbagai bidang—mulai dari mantan kolega di Kingsoft hingga pakar dari Google, Motorola, dan Samsung—Lei membangun perusahaan yang tidak hanya fokus pada perangkat keras, tetapi juga mengintegrasikan perangkat lunak dan layanan internet. Xiaomi dikenal dengan model bisnisnya yang unik: menjual smartphone berkualitas tinggi dengan harga yang sangat kompetitif. Strategi ini berhasil, dan Xiaomi dengan cepat menjadi salah satu merek ponsel paling dicintai di Tiongkok.
Lei bahkan membawa Xiaomi ke tingkat internasional dengan menggaet investor besar seperti Yuri Milner dari DST Global , salah satu investor paling berpengaruh di dunia teknologi. Milner melihat potensi besar di Xiaomi dan berinvestasi $500 juta di perusahaan tersebut.
Pada akhirnya, Xiaomi berhasil membawa Lei Jun ke puncak kariernya sebagai salah satu pengusaha teknologi paling sukses di dunia. Pada tahun 2014, Forbes Asia menobatkannya sebagai Businessman of the Year , dan ia juga muncul di daftar orang terkaya di Tiongkok dengan kekayaan bersih $9,9 miliar.
Namun, di tengah semua kesuksesan dan kekaguman, Lei sering dibandingkan dengan Steve Jobs . Meskipun pada awalnya mungkin hal ini terasa menyenangkan, Lei kemudian menjelaskan bahwa dia tidak ingin menjadi “Jobs kedua”, tetapi ingin dikenal sebagai Lei Jun pertama . Xiaomi mungkin telah terinspirasi oleh Apple, tetapi Lei selalu menekankan bahwa ia ingin menciptakan jalannya sendiri—jalur yang kini telah membawanya ke puncak industri teknologi global.
Dengan Xiaomi, Lei Jun telah menciptakan perusahaan yang tidak hanya menjual ponsel, tetapi juga memperkenalkan model bisnis baru yang menekankan interaksi dengan konsumen dan umpan balik yang cepat. Kombinasi dari inovasi, kualitas produk, dan harga yang terjangkau telah membuat Xiaomi menjadi pemain besar di pasar global dan menempatkan Lei Jun sebagai salah satu pengusaha paling visioner di dunia teknologi.